Saturday, May 15, 2021

Kasih Sayang dan Syukur

Kayaknya khutbah agama Islam di Indonesia ga banyak ya yang ambil dari sudut pandang besarnya kasih sayang Allah. MUNGKIN apa karena kondisi masyarakatnya belum pas ya? Atau saya saja yang jarang denger ceramah agama. Memang ada sih beberapa yang ambil dari angle ini, tapi tidak banyak. Kalau ada, biasanya isinya standar.

Di case saya secara personal, menggunakan angle ini terkadang lebih berhasil ngena, daripada angle dimana fokus di dosa dan hukuman saja. Karena apa? Kalau fokus dosa dan hukuman saja, tendensinya akan menimbulkan ketakutan dan orang akan menjauh. Walau dosa dan hukuman itu memang ada, dan perlu ada. Perjalanan spiritual saya secara pribadi lebih untuk mengejar cinta Yang Kuasa, mengharap cinta-Nya. Hmm, kayaknya agak terlalu bombastis ya bahasanya. Kalo simple-nya, ingin disayangi Tuhan supaya hati tenang (dari yang tadinya tidak tenang), dan dibantu terhadap segala macam permasalahan yang dihadapi, since my life is not always sugar and everything nice.

Dan saya yakin Allah itu pasti cinta makhluk yang mengharap cinta-Nya. Keyakinan ini datang tidak seketika, dan tidak begitu saja. Sometimes you need to experience some moment in your life to realize it.

Al-Fatihah dan Kasih Sayang


Surah paling terkenal di dalam Islam adalah Alfatihah. Bisa jadi yang non-muslim juga pernah denger tentang surah ini. Karena apa? Ini surat yang perlu dan wajib untuk dilafalkan tiap rakaatnya pada saat shalat. Tiap rakaat lho. Kalo ada satu surah yang wajib dihafal oleh pemeluk agama Islam, inilah surahnya.

Nah, surah Alfatihah ini kan ada 7 ayat.

  • Ayat pertama: In the Name of Allah, the Most Beneficent, the Most Merciful. (Dengan nama Allah, yang Maha Pengasih, Maha Penyayang)
  • Ayat kedua: All the praises and thanks be to Allah, the Lord of the ‘Alamin (mankind, jinns and all that exists).
  • Ayat ketiga: The Most Beneficent, the Most Merciful. (Maha Pengasih, Maha Penyayang)
  • Ayat keempat dst tidak dituliskan di sini ya.


2 dari 7 ayat ini emphasize kata Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Perlu diperhatikan bahwa kata Maha ini sifatnya lebih dari kata “sangat”, artinya "paling" yang superlative.

Maha Pengasih artinya lebih pengasih dari yang paling pengasih yang bisa kita bayangkan. Coba kita berhenti 10 detik, kemudian bayangkan siapa orang paling baik yang kamu tahu.

Sudah?

Jawabannya bisa bermacam-macam. Mungkin ibu kamu, sahabat kamu, atau siapapun. Nah, kebaikan orang tersebut hanya setitik dari kebaikan Allah. Although we may not consciously feel it.

Kalo ga salah kata Rahman dan Rahim ini, sulit sekali ditemukan padanan dalam bahasa Inggris (apalagi bahasa Indonesia-nya). Karena pilihan kata di bahasa Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan bahasa Inggris. Dan pilihan kata di Bahasa Inggris juga lebih sedikit dibandingkan di Bahasa Arab. Jadi, Most Beneficient, Most Merciful not really the best words.

Ohya, familiar dengan kata rahim kan dalam bahasa Indonesia?

Jadi, Rahim di surah Alfatihah itu ya memang memiliki arti atau akar yang sama dengan rahim ibu, womb. Lah, apa hubungannya? Jadi, rahim adalah tempat dimana segala sesuatu, mulai dari makanan, zat hidup, proteksi, dan lain lain diberikan oleh sang ibu kepada janin tanpa henti. Basically semua yang diperlukan oleh janin akan disediakan dan diberikan oleh sang ibu dengan tulus. Kenapa tulus? Soalnya, si janin ga bisa kasih apapun ke sang ibu kan? It's a total unconditional love. Mau si janin acting up kayak gimana pun, tetap saja si Ibu akan nurture si janin tersebut.

That's how Allah loves us. Allah loves us, like, a lot.

Keindahan Al-Quran


Nah, terus ya, Al-Quran itu memang indah banget. Pemilihan katanya itu sangat juara. Bahkan kenapa suatu kata itu ga ditaro di situ, itu pun ada maknanya.

Pas masih kecil, saya heran sih, kenapa Nabi Muhammad SAW kok mujizat terbesarnya itu Al-Quran. Dalam hati saya berpikir, "kok cemen sih? kok mujizat nabi yang lain lebih keren?". Ya bandingin aja mujizat Nabi Ibrahim AS, misalnya tidak mempan dibakar, atau Nabi Musa AS yang membelah laut, dan lainnya. 

Setelah belajar, saya sekarang tahu, dan juga acknowledge, bahwa mujizat-mujizat rasul sebelumnya tersebut sifatnya momentual, dan perlu menjadi saksi untuk bisa merasakannya langsung.

Al-Quran ini sifatnya kitab, yang bisa selalu direfer sampai kapan pun, yang kalau ditelaah pun seperti ga ada habis-habisnya kehebatannya. Zaman sekarang, dimana ilmu pengetahuan semakin diagungkan, hal ini menjadi semakin relevan. Like, each and every one of us could experience and see it by ourselves about the amazingness of AlQuran, bahkan ribuan tahun setelah diturunkan. And it is, personal. Like, the way I experience it, might be different than the way you experience it. Kayak baca novel aja, mungkin part yang ngena untuk si A, beda dengan part yang ngena untuk si B.

Kalau di dunia digital kan sekarang kan anggapannya, "once you post it online, it stays there forever". Al-Quran mungkin similar ya, it's like an eternal miracle gitu dengan banyaknya mushaf yang tersebar dan juga orang yang menghafal. Like it stays in the world, forever.

 

Little Nuance That Matters

Kalau dengar khutbah-khutbah ulama yang jago bahasa Arab, Al-Quran begitu intricate even to every single detail. Salah satu simple thing yang does matter contohnya gini:
QS 2:186 - "And when My servants ask you concerning Me, I am nearby indeed". [ID: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat.]

Klausa pertama: "And when My servants ask you concerning Me"
Klausa kedua: "I am nearby indeed"

Jadi, di klausa pertama kan Allah berkata kepada Nabi Muhammad SAW, dengan menjadikan umatnya dengan kata ganti ketiga. 

Tapi di klausa kedua, dimana bisa ditambahkan kata "katakan pada mereka bahwa Aku dekat", atau "maka katakan bahwa Aku dekat" atau "katakan Aku dekat". Tapi ini yang dipilih adalah "Aku dekat" saja. It's so short. Seakan-akan Allah tidak meminta Rasulullah untuk mengatakan kepada umatnya sebagai perantara untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tapi Allah seakan-akan, "hey, let me say this to them Myself". It's.so.profound.

Hmm, ga tau sih ya, mungkin ada yang bilang ini agak mengada-ada, kebetulan, dan bisa-bisanya aja interpretasi. Tiap orang bisa jadi punya persepsi yang berbeda-beda. Tapi bagi saya, little nuance, small simple detail ini, yang bisa jadi does matter and pretty impactful.

Tapi ga semua terjemahan atau tafsir sedetail ini memang. Tapi karena di terjemahan itu suka ditambah-tambah artinya dengan tujuan "agar lebih mudah dimengerti", tapi that little nuance yg menurutku jadi hilang.

Ohya, saya bukan ahli Al-Quran ya, dan bukan untuk argumentasi juga. Mungkin dibilang kalay cherry pick ayat yang dirasa pas. And I know there are some critiques out there about Al-Quran, and it's not my current capability to answer.


Gratefulness


Gw orangnya ga pengen untuk mengecewakan orang yang sudah percaya sama gw, orang yang sudah baik ke gw. Kalo ada orang yang sudah baik ke gw, pasti gw pengen bales berbuat baik ke orang tersebut, even bales yang lebih baik lagi kalau memungkinkan.

Gimana kalo berbuat baik ke orang lain? Dulu, biasanya gw expect setelah gw berbuat baik ke orang, orang lain tersebut juga kemudian perlu untuk berbuat baik ke gw, at least say thanks gitu. Jadi sifatnya resiprokal. Atau bisa dibilang pamrih gak ya?

Misalnya ada temen numpang di rumah selama sebulan, gratis, terus dikasih makan tiap hari. Nah, tapi dia ga bilang terima kasih sama sekali. Pasti dongkol kan. Sebenernya tergantung apa yang sudah gw lakukan/berikan sih, kadar dongkolnya akan berbeda juga, hehe.

Kalau sekarang, gw mencoba untuk ikhlas. I mean, I do good deeds to others is only for the sake of doing good deeds. Why? since that's a good thing. As simple as that. umm, that's not simple actually, haha. Karena apa yang orang lain lakukan itu kan ga bisa kita kontrol ya. Tapi berbuat baik kan merupakan perintah Allah, dan saya tahu dan yakin bahwa Allah lah yang akan membalas. Berbuat baik adalah lebih ke urusan saya dengan Allah, bukan agar orang lain berbuat baik juga ke saya. Berbuat baik is the right thing to do.

Jadi, kalo misalnya berbuat baik ke orang lain, terus tapi orang lain tersebut ga berterima kasih, gapapa nih sekarang? Hmm, sekarang sih agak mendingan ya. haha. Kadang-kadang (atau cukup sering? lol) sih masih ada rasa kesalnya, namanya juga manusia. I'm not a emotionless human. Tapi gw mulai membiasakan diri untuk acknowledge hal tersebut, dan kemudian choose how to react the way I want saja. Easier said than done, and sometimes I fail too. But I can always try, right?

Terus apa hubungannya dengan bersyukur? Cerita di atas coba angle-nya agak dimodifikasi, dimana bukan gw sebagai yang memberikan sesuatu, tapi gw yang mendapatkan sesuatu. Nah, sudahkan gw menjadi orang yang pandai berterima kasih?

Gw cukup suka untuk ambil this kind of angle. Jadi, gw dalam posisi sebagai orang yang banyak dapat kemudahan, tapi apakah gw sudah termasuk orang yang pandai berterima kasih? apakah gw sudah termasuk sebagai orang yang pandai bersyukur?

Jadi ingat suatu kisah Nabi Muhammad SAW, dan kayaknya kisah ini sudah cukup terkenal.

Rasulullah SAW prayer would cause his feet to swell and crack due to its length. Ā’ishah (radiyallāhu ‘anhā) said to him, “Why do you do this when Allāh has already forgiven your previous and later sins?” He responded, “Should I not be grateful servant [of Allāh]?”

Sebelumnya, my reaction would be just "oooh". Lately, I can quite understand to that one, karena gw coba menggunakan analogi kali ya? Gini, misalnya gw dikasih rumah seharga 50 M oleh Bapak X misalnya secara cuma-cuma. Pasti dong gw akan say thanks ke dia. Ga hanya say thanks, mungkin gw akan kasih hampers senilai puluhan juta, or even more, or gw akan coba melakukan like almost anything that will make Bapak X happy. Since what I do or give actually means nothing dengan 50 M yang gw dapet. Dan kalo ada orang yang tanya, "ngapain sih kirim hampers, padahal kamu udah dapet lho rumahnya". it's like, hello, can I be grateful toward the one who has been so kind to me? It's just, the right thing to do.

Nah, angle ini yang menurut saya jarang digunakan. Atau mungkin itu perasaan saya saja ya? Atau di case yang saya alami saja? Atau memang banyak penceramah Islam yang kurang pandai menyampaikan saja? Biasanya cukup "text book", dan sudah sangat sering didengar, sehingga terkesan kosong tanpa arti, atau sedikit arti. Atau arti yang hanya menyentuh kognitif tanpa afektif.

Seandainya sedikit dimodifikasi, misal, "orang tua kamu sayang sama kamu? Nah, Allah itu sayang kamu berlipat-lipat dibandingkan sayangnya orang tua kamu itu". Mungkin, kalau kalimat itu yang digunakan, pendengarnya juga jadi ikut berpikir. Nope, tidak hanya ikut berpikir, tapi juga ikut merasa. Karena, bukankah merasa itu hal yang esensial? Dan saya berpikir bahwa perasaan yang jernih merupakan hasil dari pikiran yang jernih pula.

No comments:

About me

  • M.Rabindra Surya aka Arya aka Rabz
  • Male
  • CSUI
  • Twenty
  • Maaf kalo ada postingan dengan bahasa Inggris kacaubalau. Lagi belajar ^^"