Saya biasa memanggilnya Bang Adit. Yeps, nama Raditya Oloan sempat
menjadi trending topic di Twitter, dan katanya kawan-kawan, postingan
tentang bang Adit banyak berseliweran di menu Discover masing-masing di
Instagram. Dan lately saya juga menemukan hal yang sama, banyak artis,
situs berita, pemuka agama kristiani, dan orang-orang yang kehidupannya
banyak disentuh oleh bang Adit, muncul di Instagram.
Selain Instagram, berita tentang bang Adit juga muncul di lambe turah, LINE Today, trending di Youtube, dan lain-lainnya.
Bang
Adit memang seorang pendeta yang terkenal, dan dikenal sebagai pendeta yang berbeda dan juga inspiratif. Hal ini dapat
dilihat dari komentar-komentar mengenai Bang Adit. Kawan-kawan saya yang
pernah mengikuti ceramah bang Adit banyak yang memujinya.
Saudara Sepupu
Sebagai
sepupunya, saya follow dong instagramnya, jadi cukup sering membaca
postingan-postingannya, walau kepercayaan yang kami yakini berbeda.
Banyak
yang tidak menyangka kalau kami adalah saudara sepupu, padahal muka
kami cukup mirip (yeah, I don't need to argue on that :p). Mungkin karena
saya adalah seorang muslim dan bang Adit adalah seorang protestan.
Selain itu, marga bang Adit adalah Panggabean - yang merupakan marga
Batak. Saya sendiri tidak memiliki marga dalam nama saya.
Dunia
ini sungguh berjalan dengan cara yang sangat unik. Eyang saya bisa
dikatakan seorang pemeluk Islam yang sangat taat. Bahkan, beliau adalah
salah satu perintis dibentuknya Majelis Ulama Indonesia. Salah satu sahabat dekat beliau tidak lain adalah Buya HAMKA, salah satu ulama legendaris di Indonesia yang mendapatkan gelar Doktor Honoris Kausa dari Universitas Al Azhar Kairo.
Eyang
saya memiliki 6 orang anak. Ibunda dari bang Adit, yang merupakan anak
ke-4, memutuskan untuk convert ke protestan. That's if you're curious
how the diversity came. Suami dari bude datang dari keluarga
protestan yang juga sangat taat. Tak heran bahwa anak-anaknya pun
merupakan pun pemeluk protestan yang sangatlah taat, bahkan sampai ke
cucu-cucunya.
Kami pun menghormati dan menghargai keyakinan satu
sama lain. Kalau di Islam, istilahnya lakum dinukum waliyadin. Jadi ya
sesuai dengan keyakinan masing-masing saja. Walau memang, tidak dapat
dipungkiri bahwa hubungan keluarga kami menjadi berjarak.
Video Viral: Jangan Kasih Titik
Salah satu video tentang bang Adit yang viral akhir-akhir ini adalah tentang titik dan koma.
Jangan kasih titik kalau Tuhan masih mau kasih koma.
Kalau lo masih hidup hari ini, berarti belum titik. Tuhan masih belum
berhenti sama hidup lo. Cerita yang Dia sedang buat belum berakhir [watch video here]
Kurang lebih isinya begini, seringkali saat kita sedang
down, banyak berbuat keburukan, kita menganggap bahwa hidup kita sudah
tuntas. Kita menganggap bahwa hidup kita sudah tidak ada gunanya,
berakhir, mencapai Titik.
Namun, bagi Tuhan, kondisi tersebut
masih Koma, kita masih bisa berubah, kita masih bisa memperbaiki hidup
dan mengambil jalan yang positif. Jangan terburu-buru mengambil
kesimpulan, bahwa hal tersebut adalah akhir segalanya.
Di situ, bang Adit juga mengatakan terima kasih kepada orang-orang
terdekatnya yang masih mempercayainya walau saat itu keadaannya sungguh
terpuruk.
Masa Lalu Bang Adit dan Keluarga
Bagi
yang tidak familiar dengan kisah hidupnya bang Adit. Saya akan
bercerita sedikit di sini. Bang Adit dulu pernah menggunakan narkoba.
Kenakalannya ini dimulai sejak ia masih duduk di bangku SMP. Bang Adit
pun pernah dipenjara saat duduk di bangku kuliah (ini saya ambil dari
internet). Pergaulan bebas yang kelam menuntun Radit hingga titik di
mana Joanna Alexandra (pacar kemudian menjadi istri bang Adit) hamil di luar nikah.
Oke, balik
lagi di saat bang Adit mengatakan terima kasih kepada orang-orang yang
masih mempercayainya di saat dia dalam kekelaman. Orang - yang
- mempercayainya. Yeps, keluarga bang Adit menurut saya adalah keluarga
yang sangatlah baik pribadinya. They are really genuine. Not only that, they are
pretty good with words! Jadi, postingan-postingan Instagram mereka,
apapun topiknya, sangat menarik untuk disimak kalimat-kalimatnya. They were, and are, a great support system for bang Adit.
I
can't take credits for their family's warmthness. Since I think that
has many factors, and I believe from Om Dondon's side (Bang Adit's father) also contributes
many, or maybe even larger factor.
Keluarga Besar Saya
I want to share a bit of story from my side of family, yang sebetulnya ga ada kaitannya sih dengan case bang Adit di atas. Namun, ngomong-ngomong tentang keluarga yang baik, saya merasa sangat bersyukur berada dalam keluarga yang baik, menurut saya. Yes, every family has their own issue of course, tetapi menurut saya di keluarga saya masih quite civil lah, hehe.
I have written the story about my Grandfather, which was a reaally nice person. My other families are also very kind and generous, an I feel so blessed with that.
Sebentar, mau nulis hal di bawah ini tapi sulit dan tricky. But let me try.
Some people are
saying that I'm a nice person. Do I want to be called as a nice person? I cannot lie, of course yes I want, and I want to say "yes I am", haha. It's so much better than being called as a bad person, right? But am I a nice person? Or, do I think that I really am a nice person? Biasanya jawaban diplomatisnya adalah, "biarkan orang lain saja yang menilai". Tapi kalo sendainya saya, di dalam hati perlu menjawab, kira-kira jawaban apakah yang akan saya berikan?
I think I'm a regular person who try to be a nice person.
Why I want to try to be a nice ? In my case, it's because I just want to mimic people in my surroundings, esp. my family. I just feel like that the warmth that I receive is sooo much, that it's inevitably overflowing to the surrounding. Perhaps that's what happen to my family as well.
And like many other things, nice is relative. If in one occasion that I do something that perceived as nice by another person, perhaps because I already received that nice treatment earlier. And what I had received is probably much bigger. Then, sometimes I question myself, "is what I do already good enough?". and I believe it's not.
Ini susah banget sih, the fact is, karena begitu saya merasa bahwa saya sudah baik. It means that I am not. Tapi, jangan, dan janganlah berhenti untuk berbuat baik. Dan yang membuat lebih tricky lagi, apabila saya berbuat baik, pertanyaannya adalah untuk apa? Oke deh, misalnya saya berbuat tersebut benar-benar tidak untuk dipuji oleh orang lain, means berusaha menimalisasi sifat riya. Tapi, sudahkah saya berbuat tersebut tidak untuk membesarkan diri sendiri? Tidak untuk memuji diri sendiri? Di mana yang segala puji hanyalah milik Yang Kuasa. Dan kalo di beberapa paragraf sebelumnya ada frase "biarlah orang lain yang menilai", saat ini saya sih kurang setuju sama frase tersebut. Kenapa? Mungkin yang tepat untuk menilai hanyalah Yang Kuasa. I don't need other people judgment. Susah sih, haha. Gw ga yakin juga selalu berhasil melakukan ini. Entahlah seringan berhasil atau engganya, wkwk.
Saat menulis ini pun, apakah tujuan saya juga lurus ikhlas tidak untuk membesarkan diri sendiri? Semoga Allah selalu memberikan tuntutan dan petunjuk kepada kita. Aamiin.
I want to tell
a story. I heard so many stories about how money (including inheritence) oftentimes create
fued within a family. One person trying to
get a share more than he/she deserves, or questioning the share obtained by
the others.
I have a story about this in my family. My great grandmother once had a property, a house,
that wasn't sold until few years ago. When the house was succesfully
sold, the remaining homework was to distribute the money to the heirs. At that time, all of the
children of my grandmother had passed away. Only the grandchildren
remained. In total, there were almost 30 grandchildren, 30 persons who
had interest toward the inheritence. So, how's it going? Everything went
well amazingly, so they followed the regulation according to Sharia Law. Not even
one objection. The concern was even more to the "Don't forget to pay
the Zakat for this property". My mother was amazed with that outcome.
Perhaps,
it's only perhaps, it could go so smooth like that since everyone was
already content with their own life. But, well, a certain maturity still
needs to be instilled to each and everyone. Since we know, sometimes
people with a lot of money still have a lot of greed in them.
Ya, agak ga nyambung sih ya sama postingan awal, tapi intinya bagaimana keluarga adalah faktor yang sangat penting dalam pembentukan karakter.
Bang Adit's Uniqueness in Preaching
Back to Bang Adit. Here's some of the good quotes that he had shared in the past. Although it's part of his speech, that actually part of another religion's preach. But I think that as long as the content is good and right, and doesn't inflict upon my religion, that's totally fine.
Some of quotes of Bang Adit can be found here
I think what makes his words so enticing is his genuinity in speaking, his honesty. His simplicity when conveying something. His words are soo relatable.
And since he had been on a very dark path in the past, he knows how it feels like in that dark situation. But what makes him special is, he doesn't judge. I mean, some people that have found their way to the right path, then they turn to judge the others. Okay, by saying this, it sounds like I'm judging them. Lol. Oh, this is difficult.
How to Not Judge
Daan menurutku ini sangat tricky ya. Misalnya ada orang yang saat ini menggunakan narkoba. I can only judge the activity, not the person. Dulu, saya cukup sering membaca tentang hal ini, dimana single activity itu berbeda dengan individu as a whole. Tapi dulu saya merasa hal itu adalah mustahil. Ga mungkin dong, kan yang melakukan aktivitas tersebut adalah orang, ya pasti lah orang itu yang bersalah.
Well, menurut saya tergantung konteks ya. Kalau di dalam konteks hukum, ya memang seperti itu, dan memang terkait dengan pelanggaran hak orang lain, sehingga keadilan perlu ditegakkan.
Tapi di dalam konteks ini (duh, bingung menamakan nama konteksnya apa), judge terhadap aktivitas dan individu, bisa, perlu, dan mungkin wajib dipisahkan. Ga tau sih wajib apa engga, haha. Soalnya menurut saya similar thing juga perlu diterapkan dengan identitas diri.
Misalkan saya gagal melakukan meraih sesuatu (misal: masuk Harvard, masuk McKinsey, dan sebagainya), apakah berarti saya orang yang gagal? Atau misalnya di dunia kerjaan, apakah apabila terdapat suatu project, atau bahkan tidak perform di suatu perusahaan, apakah berarti termasuk orang yang gagal? Tidak semudah itu mengatakan seseorang adalah orang yang gagal, karena dimensi seseorang manusia itu bisa sangat banyak. Ada sebagai pekerja, sebagai ayah, ibu, teman, anak, dan sebagainya. Kegagalan di suatu aspek, belum tentu gagal di aspek yang lain. Selain itu, gagal itu sangat relatif, tergantung konteks waktu juga. Since people can change. Yes, people can change.
Those words: people can change. Sounds simple, but it has a huge consequence.
Mengapa saya merasa bahwa saya tidak berhak untuk menghakimi orang lain?
1. Saya tidak tahu kehidupan orang lain tersebut keseluruhannya.
Kalau perjalanan hidup saya bener2 plek2 sama dengan dia, bisa jadi saya melakukan hal yang sama, atau mungkin bisa jadi yang saya lakukan lebih buruk. Atau bisa jadi di sisi lain hidupnya dia, dia melakukan hal-hal yang jauuh lebih baik dibandingkan kebanyakan orang. Ataupun jangan-jangan dia tidak pernah merasa dirinya sempurna, dan selalu berdoa dengan tulus, jauh lebih tulus dibandingkan doa orang-orang soleh. I never know.
2. Saya pun tidak sempurna.
Ini sudah jelas lah ya. haha. Saya pernah baca bahwa kita semua pendosa, tapi jenis dosanya saja yang berbeda. Hmm, kecuali Rasul kali ya yang memang sudah dijamin maksum aka tanpa dosa.
Well, tapi jangan sampai ini kita jadikan sebagai landasan, misal ada orang yang terlihat tanpa cela, "ah dia mah pintar aja ngumpetin dosanya". lol. Well, tapi memang dosa bukan lah sesuatu yang untuk diumbar sih. Walau tergantung konteks ya.
Ohya, misalnya seseorang tidak berbuat maksiat pun, bukan berarti luput dari dosa ya. Misalkan berbuat baik tapi niatnya untuk dipuji orang, itu pun dosa lho. Dan, itu terkadang sulit dihindari. Apalagi semakin besar, semakin terkenal, kecenderungan untuk ingin dipuji dan diagungkannya pun semakin besar. Tapi kayak paragraf di atas, ga boleh judge juga ke orang terkenal "ah, dia mah ngelakuin hal tersebut untuk dipuji".
Tidak hanya untuk dipuji orang lain, tapi bagaimana juga menghindari membesarkan diri sendiri. Nah lho. Udah deh, ini sulit, saya masih perlu banyak belajar :))
3. Orang bisa saja berubah
Siapa tau orang tersebut di masa depan berubah, dan menjadi orang baik. Jaauh lebih baik dibandingkan dengan yang men-judge dia sebelumnya.
4. Saya bisa saja berubah
Bukannya tidak mungkin di masa depan saya berubah menjadi lebih tidak baik. Dan, keadaan berbalik. Karena itu tidak henti-hentinya memang perlu doa dan usaha untuk bisa tetap di jalan yang baik.
Dan menurut saya salah satu hal yang paling tricky dalam hidup ini adalah bagaimana tidak merasa lebih baik dibanding orang lain. Tidak merasa superior dibanding orang lain.
Sambutan di Pemakaman
Kebetulan saya berkesempatan untuk mengikuti pemakaman Bang Adit. Dan, sambutan di pemakaman bang Adit menurut saya juga menarik.
- Jangan berusaha menjadi orang lain. Ini ditujukan kepada istri, anak, keluarga, dan juga orang lainnya. Jangan berusaha untuk menjadi bang Adit. Basically, jangan berusaha untuk menjadi orang lain, karena tidak akan bisa. Setiap orang punya keunikan masing-masing. Oleh karena itu, janganlah terbebani untuk menjadi pengganti bang Adit.
- Bang Adit adalah orang yang jujur, yang tidak ragu untuk menyampaikan vulnerability dia, baik saat sebelum menjadi pendeta, maupun setelah menjadi pendeta.
No comments:
Post a Comment