This topic is integrated with my posts in Instagram.
Since some of the sub-topic is picture-less, so I think I will just write them in this blog instead of in Instagram. Although I might take some excerpt from here to be put in Instagram.
I know this will be my longest travelog for quite a while. Why? Since
the travel duration itself was a whopping 2 months. Yeah, I had a 2-month Euro Trip in 2019! For European, 2
months of traveling perhaps not something unusual. But for Indonesian, I
think not many people do that, especially at my age that time, which is
20-ish. I kid, I was in my early 30-ish when doing the traveling.
Why?
Some
people guessed that I did that for "soul searching". I beg to differ. I
dont think that my Euro Trip was to do soul searching, or something
spiritual like that. I just wanted to do it, and alhamdulillah at that
time, I had sufficient time and resource to do it.
Did I eager to travel to
Europe? Actually not. I never had an ambition or dream to travel to
that continent. It's like a nice to have, although previously
I had never landed in Europe. So yeah, the timing was just right. And, few months after that, pandemic appeared. I'm so thankful with the timing.
And I was single and still had no dependent. If I already married (and had children), traveling for 2 months sound very unlikely.
But, why 2 months?
Hmm, actually one of my close friends had his wedding ceremony in the end of September. Jadi event itu semacam yang membatasi durasi Euro Trip saya. If
there's no event that I had to attend in Indonesia, my trip could be
longer I guess. But not sure about the financial wise, whether I was willing to spend more, lol. Umm, atau sebenernya bisa aja sih kalau mau jadi parasit di rumah kawan di Eropa. Lol.
How about my work?
So, I had resigned from the company that I worked for. When submitting resignation, I actually hadn't signed to any workplace. I even had not submitted a single job application. That made me able to travel for 2 months.
Financial
Mungkin pertanyaan berikutnya adalah, keadaan finansial gimana dong? Prior doing this trip, I had a consultation first of course with my financial advisor. Basically, my financial condition was fine, and I was allowed to having a trip. Alhamdulillah.
The Reaction
Salah satu
kekhawatiran saya mengenai traveling saat unemployed adalah tanggapan
orang-orang. "Wah pengangguran!", "Udah gila ya jalan-jalan lama pas lagi
ga kerja?". Well, berhubung ini bukan pertama kalinya saya ambil gap
months (bukan gap year), jadi secara mental sudah lebih siap sih. Dan biasanya
pikiran-pikiran itu hanya ramai dalam otak sendiri saja, syukurnya
orang-orang yang ditemui juga relatif woles. Dan, bisa jadi pikiran2
negatif itu muncul di saya, karena saya berpikir bahwa dunia
berpusat ke saya. Padahal, orang pun punya urusan sendiri-sendiri dan
don't really mind toward mine. Kalo ada yang julid, itu pun di luar
kontrol saya, dan I should not mind it. Sebagian besar tanggapan malah, "wah
seru banget, pengen juga dong", haha. Semoga that's honest reaction ya.
Alhamdulillah tidak ada yang merendahkan atau gimana ya, dari
keluarga dan kawan dekat sangat suportif ya. Kawan tidak dekat juga
tidak ada yang nyinyir atau gimana, haha.
Salah satu bude saya,
usia hampir 80 tahun, yang saya ceritakan tentang rencana saya ini juga
sangat suportif, to my amazement. Saya tadinya pikir kalau semakin tua,
orang akan semakin konservatif dan menolak mentah-mentah rencana
traveling ke tempat jauh selama 2 bulan tanpa pemasukan. Ternyata beliau
sangat mendukung, bahkan tampak lebih semangat dibanding saya. Haha.
Beliau ini juga senang traveling sih, dan kemudian beliau memberikan
saran tempat-tempat untuk dikunjungi di Eropa.
Preparation
Beli Tiket
Jadi, yang
pertama kali saya lakukan adalah: beli tiket pesawat! Jadi, saya beli
tiket promo non-refundable PP ke Milan, Italia. Kenapa Milan? Soalnya I
know deep within my soul that my calling is fashion. Milan, sebagai
salah satu ibukota fashion dunia, is the right choice.
Becanda
deng, gila aja. Soalnya tiket promonya saat itu yang paling murah adalah
yang ke Milan, pakai Qatar Airways yang saat itu adalah best airline
bahkan mengalahkan Singapore Airline. Sebenarnya bahkan saya ga tau di
Milan ada apa saja, haha. Saya tau ada 2 klub sepakbola super terkenal
yang bermarkas di kota ini, tapi saya bukan penggemar sepak bola juga.
Setelah
beli tiket PP, dari situ saya menyusun rencana kasar mengenai rute
perjalanan saya. Well, hal tersebut diperlukan juga kan untuk mengurus
visa, jadi sekalian lah.
Persiapan Itinerary
Actually,
going to Euro Trip, ALONE, was quite a leap of faith for me. Since I
had never done any solo trip abroad before (well, I don't count business
trip). Okay, when I was going to Japan and China, there were some
partial solo trips, but they don't count either.
For me, 2 months
is not a short time. Saya adalah seorang yang cenderung cukup
merencanakan sesuatu kalau mau bepergian, bukan yang impulsif gitu.
Jadi, maunya sih well-planned ya. Tapi, merencanakan trip untuk 2 bulan bukanlah hal yang mudah dilakukan.
Bahkan, tampaknya perencanaan mendetail untuk 2 bulan perjalanan
bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Sangat banyak faktor yang tidak
atau belum saya ketahui, dan memasang rencana detail yang belum tentu
bagus dan feasibilitynya dipertanyakan, hanya membuat stress saja.
Jadi,
waktu sebelum berangkat, saya bikin ancer2 tujuan saja selama 2 bulan.
Mulai deh buka-buka peta Eropa, negara ini tetanggaan dengan negara apa
ya. Lalu, bertanyalah saya kepada kawan-kawan mengenai kota apa yang
perlu dikunjungi dan berapa lama waktu yang baiknya.
Sebelum terbang, lebih kurang itinerary yang confirmed hanya selama 2 minggu pertama saya di Eropa. Adapun minggu-minggu selanjutnya, saya susun sambil jalan saja. Jadi, itinerary yang dimaksud pun lebih ke hari ini saya di kota apa, dan menginap di penginapan apa. Tapi, saya belum tahu tuh di kota X akan mengunjungi obyek wisata apa saja di hari ke berapa, haha. Biasanya saya kalau bikin itinerary itu sangat detail.
Persiapan paspor
Since I would enter and exit Europe via Italy, so I applied my Schengen Visa via Italy. I submitted
the application at VFSGlobal in Kuningan City. Alhamdulillah everything
was fast and quick, and no issue at all.
I only got 2 months plus
3 days visa duration (multiple entry) though, only 3 days longer than
my stay duration in Europe. I'm wondering why it's so rigid with the visa duration. Some people
suggested that I should opt to submit via Netherland, since they are
more generous. But I thought submitting via Italy was a safer option.
Persiapan Barang Bawaan
Kalau traveling, alhamdulillah seringnya berupa leisure traveling, jadi bawa koper dan menginap di hotel. Nah, tapi berhubung kali ini perjalanan hemat, perangkat yang perlu dibawa pun perlu disesuaikan.
Dari yang biasanya bawa koper, kali ini saya menggunakan backpack supaya lebih fleksibel. Misal: untuk ke penginapan kan most likely akan naik turun ke subway station. Tidak semua station dilengkapi dengan elevator dan atau eskalator. Nah, lebih mudah pakai backpack daripada harus gotong koper. Thanks to Vicky yang sudah meminjamkan tas-nya untuk saya pakai (ngga modal banget ya saya? haha).
Barang-barang yang dibawa:
1. Pakaian bersih untuk 10 hari.
2. Vacuum bag. This is A MUST! Saya kayaknya bawa 3 vacuum bag deh beserta 1 pompanya. Awalnya saya tidak percaya, tapi ini efektif banget sih dalam mereduksi volume barang bawaan. Well, tapi kadang-kadang ada yang bocor gitu plastiknya. Jadi, menurutku bawa cadangan perlu.
3. Gembok
4. Detergent. Terkadang saya perlu mencuci secara manual juga.
5. Lunch Box. Nah, ini perlu untuk masukin kelebihan makanan, untuk bisa dimakan selanjutnya.
6. Laptop. Ini ga terlalu sering dipake sih, tapi saya orangnya belom bisa untuk mobile-only.
7. Kindle. Nah, tapi ini sayangnya hilang entah di mana. Dugaan saya di Qatar sih waktu perjalanan berangkat.
Persiapan Mental
Jadi, kalo cerita
ke orang-orang kalo saya mau solo traveling ke Eropa, salah satu
respons yang sering saya terima adalah "duh, hati-hati ya. di sana
kurang aman.", "wah, di sana banyak copet, waspada ya", dan sebagainya.
I
know maksud mereka baik, dan mereka sangat care terhadap saya. Namun, I
cant lie kalau hal tersebut membuat saya sangat khawatir. Bahkan,
sehari sebelum berangkat ke Milan, yang saya sibuk lakukan adalah
Tapi
ada bagusnya sih, saya jadi revisit akomodasi yang akan saya tinggali.
Saya baca secara mendetail review2nya, mulai dari lingkungan sekitar,
keamanan, dan sebagainya. Bahkan saya juga liat di Google Street gimana
penampakan sekitarnya, haha. Maklum, tadinya prioritas utama dalam
memilih akomodasi adalah: harga dan rating. Kemudian, saya memasukkan
lokasi sebagai kriteria utama juga dalam pemilihan akomodasi.
Nah,
tadinya di Milan itu rencana awalnya menginap di daerah yang agak
pinggiran. Lalu, saya coba deh liat di Google Maps, akses ke daerah situ
dari airport atau pusat kota bagaimana. Bahkan saya juga lihat kondisi jalan dan bangunan di situ seperti apa, haha. Kalau agak-agak mencurigakan, saya langsung ganti yang lain. Duh, gimana ya, soalnya bukan nginep di hotel berbintang atau gimana, yang lokasinya hampir pasti oke. Haha.