Thursday, October 02, 2008

no porn please

Terjemahan dari sini.. karena saya sangat tidak setuju bagi mereka yang mengatakan "porn is okay" dengan alasan apapun.. yang saya tulis di sini adalah salah satu contoh artikel yang tidak setuju terhadap porn, dan dari sumber yang ilmiah dan reliable (u can googling those names if u want). well, tapi ini tidak berhubungan dengan (R)UU anti-pornografi ya. Saya sendiri belum mendalami isi (R)UU tersebut.. Mudah-mudahan artikel atau terjemahan berikutnya bisa diposting dalam waktu tak lama.. (I'm not sure, hahaha)

---------------------------------------------------------------------------------------------

Dalam sebuah episode serial Friends yang berjudul ‘The One with Free Porn’, Chandler dan Joey merasa senang dengan adanya saluran TV porno gratis. Saluran tersebut selalu mereka tonton tanpa henti karena khawatir bahwa saluran tersebut takkan berlangsung lamar. Kemudian, Chandler yang sedang terkejut berkata pada Joey, “ketika saya berada di bank, dan ada seorang teller yang sangat cantik, dan dia tidak meminta saya untuk melakukannya di kolong”. Joey pun mengalami hal yang sama dengan seorang wanita pengantar pizza. “Kau tau?” Chandler menyimpulkan. “Kita harus mengenyahkan porn

Yang dimaksud oleh Chandler adalah satu hal, namakan saja porn factor. Dahulu, pornografi dapat dilihat secara tersembunyi di newsstand remang-remang atau teater dewasa, tetapi sekarang pornografi ada dimana-mana. Kita dapat menemukan di internet, terkadang tanpa diinginkan, terkadang diforward seseorang dgn penuh kesadaran. Hal tersebut merangsang dibuatnya saluran tv kabel dewasa dan layanan menurut permintaan (seperti pay-per-view reality show yang berjudul Can You Be A Porn Star? di USA). TV cable reguler bahkan sudah terpengaruh, contohnya adalah tayangan serial dokumenter HBO yang berjudul Pornucopia: Going Down in the Valley. Hal ini mengkhawatirkan dilihat dari berbagai aspek, seperti mempengaruhi hubungan baik jangka panjang atau pendek, membentuk kembali ekspektasi mengenai seks dan citra tubuh, dan yang paling mengkhawatirkan dari semuanya, mengancam cara anak belajar tentang seks.

Dalam tahun-tahun belakangan ini, sejumlah psikolog dan sosiolog telah bergabung dalam arus para pemuka agama dan politik yang biasanya menjadi lawan mereka dalam hal efek pornografi. Mereka berargumentasi bahwa porn mentransformasi seksualitas, dan bahkan relationship. Pakar mengatakan pria yang secara rutin melihat porn dapat mengembangkan ekspektasi yang tidak realistis terhadap penampilan dan kelakuan wanita, mengalami kesulitan dalam membentuk dan menjaga relationship, dan susah merasa terpuaskan secara seksual. Didukung kombinasi dari akses, anonimitas dan kemapanan, online porn telah melambungkan konsumsi pornografi secara umum: menggaet penonton baru, mendorong fans lama untuk semakin terjerumus, dan meningkatkan konsumsi dari materi soft-core ke hard-core. Cyberporn bahkan menghasilkan bentuk baru dari sexual compulsiveness. Menurut Alvin Cooper, yang mengkonduksi seminar tentang kecanduan cybersex, 15% dari penikmat online-porn mengembangkan kelakuan seksual yang mengganggu hidup mereka. “the internet adalah crack cocaine dari kecanduan seksual,” lontar Jennifer Schneider, co-author dari Cybersex Exposed: Simple Fantasy or Obsession?

Walaupun begitu, sebagian besar pengguna mengatakan sex online adalah nothing more than good (if not quite clean) fun!. Menurut survey online tahun 2001 pada 7037 orang dewasa, 2/3 dari mereka yang mengunjungi situs web yang mengandung materi seksual mengatakan aktivitas internet mereka tidak mempengaruhi tingkat aktivitas seksual mereka terhadap rekannya. Mayoritas besar dari responden (85-90%), menurut Cooper, dinamakan “recreational users”, orang yang melihat pornografi karena penasaran atau iseng.

Pertanyaannya adalah, dapatkah pemakaian yang hanya bersifat rekreasi bersifat tidak sehat? Studi online pada tahun 2003 menemukan bahwa semakin banyak pornografi yang dilihat orang, semakin besar kemungkinannya mereka akan mendeskripsikan wanita dalam term seksual dan mengkategorisasikan wanita dalam peran gender tradisional. Mark Schwartz, mengatakan porn tidak hanya menyebabkan pria untuk menjadikan wanita sebagai obyek– melihat mereka sebagai kumpulan dari breasts, legs and buttocks – tapi juga membawa kepada ketergantungan terhadap gambaran seksual sebagai perangsang. “pria menjadi seperti komputer, tidak bisa dirangsang dengan manusia yang berada di sisinya.”

Psikolog lainnya lebih toleran. Sebagian besar pria menggunakan pornografi dengan rahasia, dan selama itu tidak mempengaruhi hubungan mereka, beberapa mengatakan bahwa itu adalah OK. “jika klien menikmati kegunaan yang sehat dari pornografi tanpa sepengatahuan istrinya, saya akan menyarankan dia untuk tidak mengatakan pada istrinya, kata psikiater Scott Haltzman. Walaupun begitu, banyak terapis mengatakan kelakuan seperti itu menciptakan pelanggaran kepercayaan. Pasangan sering melihat porn sebagai pengkhianatan atau bahkan zina. Reaksi tipikal ketika seorang wanita menemukan kebiasaan suaminya adalah terkejut dan mengatakan “berani-beraninya dia?”. Menurut terapis Lonnie Barbach, banyak wanita akan “merasa mereka tidak cukup baik”. Jika tidak, mengapa partner mereka akan mencari porn?

Terkadang pornografi menimbulkan perceraian. Pada pertemuan American Academy of Matrimonial Lawyers tahun 2003, 2/3 dari 350 pengacara perceraian yang hadir mengatakan internet memiliki peran signifikan dalam perceraian di tahun tersebut. Minat yang berlebih pada online porn berkontribusi pada lebih dari setengah kasus2 tersebut. “hal ini secara jelas berhubungan dengan internet”, kata Richard Barry, presiden dari asosiasi tersebut. “pornografi hampir tidak memiliki peran dalam perceraian pada 7 atau 8 tahun yang lalu”

Tetap saja, terapis pasangan terkadang menyarankan pornografi sebagai cara untuk menyegarkan hubungan atau mencetuskan gairah. Secara meningkat, wanita menjadi permainan. Sosiolog Michael Kimmel telah menemukan bahwa tiap tahun semakin banyak mahasiswi yang setuju terhadap porn, yang dapat mencerminkan women’s increased sexual empowerment. Walaupun begitu, ia mengatakan “kelakuan mereka adalah mengejutkan bagi kita yang berpikir hal tersebut melemahkan kebebasan untuk membangun kehidupan seks seperti yang dilakukan pria”. Kuncinya, kata terapis, adalah konsumsi mutual yang seduktif untuk kedua pasangan dan media yang erotik dibandingkan pornographic. Sebagian besar mendeksirpsikan dengan cara ini: porn adalah membuat jadi objek dan erogatory, dan erotika lebih menggambarkan seks mutual yang memuaskan antara rekan yang setara. Yang lain mengatakan itu hanyalah masalah taste.

Masalahnya adalah, seringkali selera tersebut tidak dishare. Chii, seorang product manager di NYC, memberi toleransi pada kebiasaan pornografi pacarnya, tapi kekaguman si pacar terhadap tubuh-tubuh bintang porno seperti Jenna Jameson membuat Chii tidak nyaman, sehingga ia berencana untuk melakukan breast implants. “pacar saya mengatakan bahwa banyak pacar dari teman-temannya yang telah melakukan hal tersebut”, kata Chii. “Dia mengatakan pada saya, ‘bayangkan betapa indahnya tubuh yang akan kamu miliki!’ Saya tidak bisa menyalahkan dia terhadap preferensinya.”. Tapi Chii tidak yakin apakah operasi akan meningkatkan kehidupan seks mereka. “Dia cenderung untuk egois secara seksual,” katanya. “Saya pikir pornografi memiliki banyak peran dalam hal tersebut. Bagi dia, porn is easy”. Pengalaman Chii sangat tipikal, kata Aline Zoldbro, seorang terapis sex. Dia mengatakan penggunaan porn oleh pria seringkali mendistraksi mereka dari tugas untuk menyenangkan rekan dunia nyata mereka.

Porn tidak hanya memberikan ide buruk kepada pria; porn dapat memberikan anak-anak ide yang buruk pada usia pembentukan. Dulu, mungkin anak-anak sembunyi-sembunyi melihat national geographic untuk mencari naked aboriginals dan majalah Penthouse yang bersifat occasional di gudang, saat ini gambar pornografi mudah didapatkan dalam basis harian. Pada polling tahun 2001 oleh Kaiser Family Foundation, 70% dari 15-17 mengatakan mereka secara tidak sengaja mengakses online pornografi. Sedangkan remaja yang lebih tua lebih memerhatikan efek dari gambar2 tersebut: 59% dari 15-24 tahun mengatakan bahwa mereka percaya melihat porn di internet mendorong kawula muda untuk melakukan hubungan sex sebelum mereka siap, 49% mengatakan hal tersebut menyebabkan kelakuan yang buruk terhadap wanita dan mendorong pelihat untuk berpikir bahwa seks yang tak terlindung adalah OK. “Pornografi mempengaruhi manusia pada usia muda yang bertambah, “ kata sosiolog Diana Russell, yang telah menulis beberapa buku pada subjek tersebut. “ dan sayangnya untuk banyak anak-anak saat ini, pornografi adalah satu-satunya pendidikan seks yang mereka dapatkan.

Karena anak-anak belajar seks sejak dini, anak laki2 melatih diri mereka untuk merespon hanya kepada gambar2 bintang porno, dan wanita dapat belajar bahwa submission dan brazilian bikini waxes adalah kunci untuk menyenangkan pria. Studi saat ini menunjukkan adanya korelasi antara agresivitas yang meningkat pada pria dan ekspos terhadap pornografi, serta hubungan antara masa kecil dengan perilaku kekerasan seksual pada masa dewasa. “tidak mudah untuk membuatku terkejut”, kata Judit Coche, terapis yang telah menggeluti bidangnya selama 25 tahun. Tapi pasangan orang tua dari anak perempuan berusia 11 tahun menemukan anak mereka membuat situs pornografi karena hal tersebut dianggap ‘cool’ oleh teman-temannya. Dan kejadian seperti itu bertambah banyak setiap harinya. Jadi, rasanya tak berlebihan untuk mengambil kesimpulan yang sama dengan yang dibuat Chandler: kita harus mengenyahkan porn.

courtesy of Time Magazine

About me

  • M.Rabindra Surya aka Arya aka Rabz
  • Male
  • CSUI
  • Twenty
  • Maaf kalo ada postingan dengan bahasa Inggris kacaubalau. Lagi belajar ^^"